Menikah, bagi saya pribadi memang merupakan tema yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Dan sepertinya, akan sangat lebih menarik lagi apabila dikerjakan (hehe). Akan tetapi, apalah daya, ijin resmi dari orang tua belum keluar (upz).
Apa yang kita fikirkan ketika mendengar kabar tentang pernikahan sepasang manusia dengan beberapa kondisi (yang kita ketahui di antara keduanya) sebagai berikut:
- Keduanya belum pernah saling kenal sama sekali sebelumnya
- Keduanya sekedar saling kenal sebelumnya
- Keduanya sudah saling kenal dan seringkali satu amanah sebelumnya
Jika mungkin bisa saya rangkum kepada dua kondisi, maka keadaannya sebagai berikut:
- Sama sekali diluar prediksi bahwa mereka berdua akan menikah
- Sudah diprediksikan bahwa mereka berdua saling suka dan akan menikah
Apa yang terlintas pertamakali dari otak kita ketika mendengar sepasang manusia kemudian menikah dengan salah satu kondisi diatas?
Akankah kemudian kita mempunyai hak dan kelayakan untuk memberikan penghakiman atas tiga kondisi yang mengantarkan dua insan manusia tersebut merajut rentetan cerita penyempurna separuh agamanya ini? Siapakah kita hingga mempunyai kewenangan sedemikian besar mengomentari pilihan kehidupan yang diambil oleh orang lain?
Misalnya ada pasangan yang menikah, lalu kita kaget karena tidak sesuai dengan perkiraan kita. Sejauh ini, yang kita ketahui adalah tidak pernah terjalin hubungan apapun diantara keduanya, atau bahkan, setahu kita, mereka berdua tidak saling kenal. Apa yang pertamakali terbesit dalam otak kita?
“Wah Hebat ya, keren! Luar biasa!”
“Pasti cinta mereka suci, tak ada deep intro antara keduanya. Tak ada saling modus apalagi main api”
“Yang begini nih, baru menginspirasi kita. Layak dijadikan teladan bahwa menikah adalah tentang niat yang suci dan tujuan yang jelas”
Begitukah pola fikir kita seharusnya?
Ataukah misalnya, ketika ada sepasang manusia yang ‘tiba-tiba’ melangsungkan akad nikah, tapi kita merasa biasa – biasa saja? Tidak ada rasa kaget apalagi takjub? Ya. Barangkali sekedar mengucap syukur dan kalimat tasbih, dikarenakan kita sudah memperkirakan sebelumnya, bahwa antara keduanya memang ada ‘apa–apa’.
“Wooo la pantes, orang mereka itu udah deket banget sebelumnya.”
“Oh, jadinya mereka menikah tho? Ya baguslah, daripada kena VMJ (Virus Merah Jambu). Atau, malahan mereka menikah karena sudah VMJ sebelumnya?”
“Alhamdulillah ya, mereka menikah juga akhirnya. Memang udah deket banget hubungan mereka berdua.”
Begitukah sikap dan tanggapan ‘bijak’ kita?
Ataukah kemudian, ketika yang menikah adalah pasangan orang–orang penting di lembaga -yang kita ketahui memang antara keduanya sering bertemu di forum dan medan ‘amal di lapangan yang sama-, ketika kita mendengar mereka menikah, kemudian dengan nyinyir kita memberi ucapan syukur di belakang mereka seraya bergumam ‘kewajaran’,
“Ooo… yang sering satu amanah itu tho? Pantes saja mereka menikah. Mungkin cinta bersemi diantara amanah mereka.”
“Ya wajarlah, pasangan ketua dan sekretaris.”
“Oh, Pak Ketua dan Bu Kaderisasi menikah tho?”
“Wah pasti dulu waktu mereka satu amanah, ada sesuatu yang tidak sehat antara keduanya. Wah, ini gawat kalau nantinya ditiru sama adik–adik. Berlembaga jadi tidak sehat.”
Begitukah seharusnya penghakiman yang kita utarakan?
Begitukah seharusnya penghakiman yang kita utarakan?
Dan sebegitukah kita, berani–beraninya mengurai simpul di luar kuasa kita? Memberikan penghakiman dan komentar sekenanya tanpa mengembalikan segala peristiwa kepada Dzat Yang Maha Mengendalikan segala peristiwa?
Bi idznillah, semuanya terjadi. Semua pengantar dan latar belakang sepasang manusia yang kemudian menikah itu sesuai dengan ijin Allah. Dan adakah kehendak Allah yang tidak kita sukai? Adakah suatu peristiwa terjadi tanpa izin dari Allah? Adakah suatu perkara yang dikehendaki Allah , akan tetapi tidak baik dampaknya untuk kita?
Atas semua kemungkinan yang mengantarkan sepasang manusia memadu kasih dalam perjanjian yang agung tersebut, saya memilih untuk bersegera mengucap syukur, tanpa memberikan penghakiman apapun. Meski apapun latar belakang mereka menikah, ndhak ada masalah bagi saya secara pribadi. Sah, tanpa syarat!
Atas semua kemungkinan yang mengantarkan sepasang manusia memadu kasih dalam perjanjian yang agung tersebut, saya memilih untuk bersegera mengucap syukur, tanpa memberikan penghakiman apapun. Meski apapun latar belakang mereka menikah, ndhak ada masalah bagi saya secara pribadi. Sah, tanpa syarat!
“Alhamdulillah, Allahu Akbar! Ini semua kehendak Allah. Semoga Allah memberikan kelancaran semua urusan mereka berdua sampai dengan walimahannya.”
Memangnya kenapa kalau mereka belum pernah saling mengenal sebelumnya? Memangnya mengapa kalau mereka sudah saling mengenal sebelumnya? Memangnya mengapa kalau mereka sering satu amanah sebelumnya? Memangnya masalah kalau mereka pasangan pembesar lembaga?
Mari tingkatkan ukhuwah dan kebersamaan kita untuk lebih mendahulukan prasangka baik kepada saudara. Percaya sepenuhnya atas proses yang dilewati. Kemudian mengambil satu inspirasi bahwa kita juga harus bersegera mengejarnya, mengikuti jala -jalan mereka. Karena menikah adalah ibadah, segala perantara menujunya kita do’akan adalah bahagian dari ibadah juga. Bukan justeru membuat daftar kemungkinan prasangka.
Sahabatku yang baik,
Pernahkah terfikir, jika suatu saat kita akan hidup serumah dengan orang yang sangat kita benci hari ini? Kemudian kita bersahabat hangat dengannya, menjalin relasi kerja, dan atau hubungan kultural–struktural lainnya?
Pun juga dengan sebaliknya.
Pernahkah terfikir, bahwa suatu saat, kita akan sangat sebal dan atau bahkan membenci orang yang selama ini selalu dekat dengan kita? Atau, orang yang selalu kita anggap baik, nyaman dan mententeramkan saat bersamanya, lalu kita membencinya? Pernahkah berfikir demikian untuk suatu saat nanti?
Pernahkah terfikir, bahwa suatu saat, kita akan sangat sebal dan atau bahkan membenci orang yang selama ini selalu dekat dengan kita? Atau, orang yang selalu kita anggap baik, nyaman dan mententeramkan saat bersamanya, lalu kita membencinya? Pernahkah berfikir demikian untuk suatu saat nanti?
Ah, sahabatku,
Hidup terlalu singkat jika hanya menganalisa segala peristiwa yang ada di depan kita sekarang. Masih ada garis takdir yang sangat ‘mengejutkan’ di suatu ketika nantinya. Sebagaimana yang dikatakan Ust. Salim A. Fillah, “Jangan berlebihan, karena sebuah bandul yang mengayun ke kanan, suatu saat juga pasti akan kembali mengayun ke kiri”
Maka tak begitu penting lagi harus dengan siapa kita menikah dan menjalani hidup nantinya. Apakah dengan orang yang tidak kita kenal, dengan orang yang kita kenal, dengan orang yang sering satu amanah, dengan orang yang pernah kita benci, ataukah dengan orang yang memang sudah kita cintai. Tak masalah! Karena masih jauh lebih penting lagi memikirkan bagaimana proses kita untuk menjemput dan mendapatkannya. Daripada sekedar memikirkan kita akan hidup dengan siapa nantinya.
No comments:
Post a Comment